Oleh: Man’uth Mustamir Ishak
POTRETNEWS.ID, (OPINI) – Di tengah semangat membangun konektivitas antarwilayah, rencana pembukaan jalan menuju Hunggo yang melewati kawasan hutan lindung Popayato Barat menyisakan ironi yang mendalam. Alih-alih menjawab kebutuhan masyarakat akan akses, proyek ini justru berpotensi menjadi pintu masuk bagi kerusakan ekologis yang selama ini dijaga oleh alam dan adat.
Hutan Lindung Popayato Barat bukan sekadar hamparan pepohonan. Ia adalah benteng terakhir keanekaragaman hayati Sulawesi. Di dalamnya hidup spesies-spesies langka, sumber cadangan air bagi wilayah sekitar, dan penyangga iklim mikro yang menjaga keseimbangan ekosistem. Membuka jalan di tengah kawasan ini tanpa kajian ilmiah yang komprehensif, tanpa izin lingkungan (AMDAL), serta tanpa persetujuan adil dari masyarakat adat, adalah bentuk pemaksaan pembangunan yang abai terhadap keberlanjutan.
Kami tidak anti pembangunan. Kami mendukung jalan yang benar-benar dibutuhkan rakyat. Tapi jalan yang dibangun di atas kawasan hutan lindung—tanpa izin, tanpa transparansi, dan tanpa partisipasi publik—bukanlah pembangunan. Itu perampasan. Jalan ini tidak hanya akan mengiris tubuh hutan, tetapi juga membuka luka baru: pembalakan liar, perambahan lahan, hingga potensi konflik sosial dan agraria.
Sudah terlalu banyak contoh di negeri ini ketika jalan dibuka dengan dalih “akses rakyat”, namun akhirnya menjadi jalur masuk kepentingan pemodal. Hutan dikorbankan, rakyat dikhianati. Apakah jalan ke Hunggo akan bernasib sama—berpihak pada segelintir, dan menyisakan kerusakan panjang bagi generasi?
Kami menyerukan kepada pemerintah daerah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan para pemangku kepentingan lainnya: hentikan pengabaian ini. Segera lakukan kajian ulang, buka ruang dialog yang inklusif, dan tempatkan kelestarian hutan serta keselamatan rakyat sebagai prioritas utama. Jangan sampai niat baik membuka akses, justru membuka luka yang tak tersembuhkan. (*)